Dahsyatnya perubahan di bidang teknologi dan informasi telah mengubah berbagai perilaku manusia sebagai makluk sosial. Saat ini, interaksi secara langsung face to face, sebagian besar digantikan dengan interaksi di media sosial. Dengan berbagai fasilitas canggihnya, media sosial telah berhasil mengubah pola komunikasi antar personal, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan sosial paling kecil yaitu keluarga. Bagi orang Katolik, keluarga merupakan Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga), tempat kehidupan iman, harapan dan kasih kristiani bertumbuh kembang. 

Sebagai Gereja mini, keluarga kristiani menjadikan Yesus Kristus sebagai jalan dan teladan bagi pembentukan, pembangunan, dan pelaksanaan hidup berkeluarga. Sebagai pengikut Kristus, keluarga kristiani diharapkan dapat menjalankan tiga misi utama Kristus, yaitu sebagai nabi, raja, dan imam. 

Keluarga mengambil bagian dalam misi kenabian dengan mewartakan sabda Tuhan. Dengan demikian, keluarga menjadi komunitas yang semakin percaya dan semakin merasul, dengan menjadikan Injil sebagai gaya hidup di dalamnya. Hanya dengan ketaatan iman dan dalam terang iman, keluarga dapat mamahami dan mengagumi dengan rasa syukur yang mendalam, tentang martabat perkawinan dan keluarga yang begitu luhur. Hal ini dikarenakan Allah berkenan menjadikannya sebagai gambaran akan tanda perjanjian antara Allah dan manusia, antara Kristus dengan Gereja-Nya (FC.51). Hidup berkeluarga juga sesungguhnya merupakan suatu bentuk misi (kerasulan awam) yang didasarkan atas sakramen perkawinan yang dikuduskan Kristus (Heuken, Ensiklopedi Gereja II (H-Konp), 1992:270). 

Menjalankan misi imamat Kristus dalam kehidupan keluarga berarti berani untuk menyucikan diri melalui sikap kerendahan hati untuk saling mengampuni. Puncaknya adalah pada penerimaan Sakramen Tobat (FC. 58). Hal ini mengingat, sebagai imam, Kristus membawa pengudusan terhadap umat Israel serta menjadi perantara manusia dengan Allah. Kristus, dalam peran-Nya sebagai imam juga membawa penebusan dosa bagi bangsa Israel. Maka sebagai imam, keluarga mengambil bagian dalam tugas Kristus. Kehidupan yang selaras dari keluarga menjadi sebuah cara keluarga untuk menahbiskan dunia. 

Dalam kehidupan bangsa Israel, Kristus menjadi seorang pemimpin yang membebaskan umat Israel dari penjajahan dan memerdekakan bangsa Israel. Dalam mengemban misi Kristus sebagai raja, keluarga kristiani diharapkan dapat melayani sesama secara nyata dengan melaksanakan hukum cinta kasih. 

Sikap Yesus sebagai raja adalah melayani. Dengan melayani sesama, keluarga turut mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai Raja yang telah lebih dahulu melayani kita. Kristus menghendaki agar kita memiliki semangat penyangkalan diri dan hidup kudus untuk mengalahkan kuasa dosa di dalam diri 2 kita. Selanjutnya, dengan melayani Kristus yang hadir dalam sesama itulah, keluarga dapat dengan rendah hati menghantarkan saudara dan saudarinya kepada Kristus. (FC.63). 

Di tengah perkembangan dunia dan tantangan kehidupan keluarga, muncul pertanyaan: bagaimana keluarga-keluarga Katolik mengembangkan pendidikan karakter dalam keluarga? Sejauh mana peran orangtua dalam membangun pendidikan karakter dalam keluarga? Apa saja langkah yang perlu dilakukan orangtua dalam membangun pendidikan karakter dalam keluarga?

Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak yang tujuannya mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk memberikan secara tepat keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus mencakup dimensi moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona, 1991:51). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Secara akademis pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak yang tujuannya mengembangkan kemampuan anak agar dapat memberikan keputusan baik atau buruk (Permana, 2017:2).